Nama : Sylvi Febrina
Npm : 25217870
Kelas : 4EB11
·
CPI – Corruption
Perception Index
Corruption Perception Index (CPI) merupakan indeks komposit
yang mengukur persepsi pelaku usaha dan pakar terhadap korupsi di sektor
publik, yaitu korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri, penyelenggara negara
dan politisi. Sejak diluncurkan pada tahun 1995, CPI telah digunakan oleh
banyak negara sebagai rujukan tentang situasi korupsi dalam negeri dibandingkan
dengan negara lain. Tujuan dari lembaga survei CPI adalah untuk
mengingatkan bahwa korupsi masih merupakan bahaya besar yang mengancam
dunia. Objek dari lembaga survei CPI ini Corruption Perception Index mengukur
persepsi korupsi yang dilakukan politisi dan pejabat publik.
Hasil survey pada tahun 2020 yaitu Corruption
Perception Index memberi peringkat 180 negara. Indeks ini menunjukkan
urutan-urutan negara sesuai dengan persepsi urutan-urutan tingkat korupsi yang
dilakukan pegawai negeri dan kaum politisi. Survei ini mencerminkan persepsi
dan pandangan pengusaha dan analis di seluruh dunia. Korupsi yang dimaksud
dalam survei ini yaitu penyalahgunaan jabatan oleh pegawai dan kaum politisi
untuk kepentingan pribadi. Survei ini tidak membedakan korupsi yang bersifat
administratif atau politis, atau antara korupsi besar atau kecil. pada tahun
2020,Indonesia menduduki skor 37 dengan ranking 102 dari 180 negara, menurun
tiga point dari tahun sebelumnya. Melihat dari penurunan skor pada indeks CPI
Indonesia gerdapat 5 indikator yang merosot dalam penghitungan indeks antara
lain Varieties of Democracy Project (dari peringkat 28 menjadi 26), tiga
indikator yang stagnan antara lain World Economic Forum EOS (masih di peringkat
46), dan satu indikator naik, yaitu World Justice Project – Rule of Law Index
(dari peringkat 21 menjadi 23).
·
GCB - Global
Corruption Barometer
Global Corruption
Barometer (GCB) merupakan survei mengenai opini publik terkait korupsi dan
praktik suap berdasarkan persepsi dan pengalaman masyarakat di masing-masing
negara, salah satunya adalah Indonesia. Survei yang sebelumnya juga dilakukan
pada tahun 2017 dan 2013 ini menilai berbagai praktik korupsi dan suap seperti
koneksi personal, institusi yang paling korup, tingkat korupsi dalam kurun
waktu 12 bulan terakhir, kinerja pemerintah dalam memberantas korupsi, dan
peran masyarakat dalam membuat perubahan untuk memberantas korupsi.
Survei GCB Indonesia dilakukan pada periode 15 Juni sampai 24 Juli 2020 yang dilakukan via telepon melalui metode Random Digital Dialing (RDD) dengan menggunakan kontrol kuota sebagai pendekatan sampelnya mengingat kondisi pandemi Covid-19. Survei di Indonesia melibatkan 1000 responden dengan usia di atas 18 tahun yang turut melibatkan latar belakang pendidikan, gender, dan lokasi. Komposisi responden di Indonesia terdiri dari 50,3% perempuan dan 49,7% laki-laki serta persentase kelompok usia terbanyak 38,2% dalam rentang usia 26-35 tahun. Berikut 10 temuan utama GCB indonesia pada tahun 2020
1. Kinerja
Pemerintah dalam melakukan pemberantasan korupsi dianggap stagnan
Lebih dari 90% responden merasa korupsi di tubuh
Pemerintah merupakan masalah
besar, jauh diatas rerata Asia (74%).
2. Hanya
51% publik yang disurvei menilai kinerja KPK cukup baik dalam satu tahun
terakhir.
Sejalan dengan tren menurunnya tingkat kepercayaan publik
.Meski begitu, KPK memiliki modal sosial besar karena lebih dari 90% responden
tahu mengenai KPK. Kehadiran Anti-Corruption Agencies (ACA) di Asia dianggap
krusial dalam menopang agenda pemberantasan korupsi, dimana tingkat penerimaan
di Asia mencapai persentase 63%
3. DPR
dipersepsikan sebagai lembaga terkorup di Indonesia.
Sejalan dengan tren di Asia, Parlemen merupakan institusi
publik yang paling korup. Dibandingkan pengukuran GCB 2017, seluruhnya cukup
turun signifikan, kecuali persepsi pada Pemerintah Daerah yang naik 1%.Di
Kepolisian dan Pengadilan, ada gejala reformasi walaupun tidak signifikan
4.Sebanyak
3 dari 10 responden mengaku pernah membayar suap ketika mengakses layanan
publik.
Tingkat suap di Indonesia tertinggi
ke-3 diantara 17 negara Asia yang disurvei; tidak turun signifikan dari hasil
GCB 2017. Alasan membayar suap karena sebagai tanda terima kasih (33%), memang
diminta membayar biaya yang tidak resmi (25%), dan ditawari agar membayar suap
demi proses yang lebih cepat (21%). Lebih dari 90% mengakui tidak pernah
melaporkan praktik suap yang dialaminya. Selama pandemi Covid-19, sebesar 97%
responden tidak pernah memberikan suap.
5. Pengalaman suap masyarakat paling tinggi terjadi di layanan
Kepolisian (41%), jauh diatas rata-rata Asia (23%).
Pengalaman suap untuk layanan di Kepolisian, Dukcapil, dan Sekolah kembali naik dibandingkan GCB 2017. Rumah Sakit/Puskesmas merupakan layanan dengan pengalaman suap terendah (19%), namun tidak ada penurunan signifikan dari pengukuran sebelumnya. Mayoritas warga berusia muda mengaku pernah melakukan suap dalam satu tahun terakhir, yakni 18-24 (45%) dan 25-34 (30%) jauh diatas ratarata Asia (masing-masing 22% dan 19
6. Lebih dari 80% responden yang disurvei menganggap koneksi
pribadi penting jika ingin mendapatkan kualitas pelayanan publik yang lebih
baik.
Penggunaan koneksi pribadi untuk mengakses layanan publik di Indonesia merupakan proporsi tertinggi kedua setelah India. 1 dari 2 responden pernah menggunakan koneksi pribadi dalam mengakses layanan publik selama satu tahun terakhir. Layanan publik untuk dokumen identitas paling banyak menggunakan koneksi pribadi (36%)
7. 1 dari 3 responden mengaku pernah ditawari untuk
menjualbelikan suaranya ketika Pemilu, baik pemilihan Presiden, Legislatif, dan
Kepala Daerah selama lima tahun terakhir.
Mayoritas responden yang pernah mengalami, mengaku pernah ditawari hingga satu sampai dua kali. Tingkat vote-buying di Indonesia (26%) hampir dua kali lipat rerata Asia (14%)
8. Lebih dari setengah korban pemerasan seksual yang mengakses
layanan publik adalah perempuan
Sextortion adalah penyalahgunaan
kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan seksual dan sering kali terjadi sebagai
imbalan atas layanan publik, seperti layanan kesehatan atau pendidikan.
Bersifat korban langsung atau pernah mendengar.Indonesia merupakan negara
dengan tingkat sekstorsi tertinggi di Asia (18%), diikuti dengan Sri Lanka
(17%) dan Thailand (15%), dua kali lipat diatas rerata Asia (8%).Contoh:
1. Kasus dua petugas polisi di
Malang, Jawa Timur, pada 2016.
2. Mantan hakim, Setyabudi
Cahyo, memeras secara seksual dan divonis korupsi pada
2009 dan 2010.
3. Baru-baru ini , selama pandemi
COVID-19, seorang penumpang maskapai
perempuan diperas secara seksual oleh dokter
di bandara sebagai imbalan untuk
mendapatkan akses hasil tes COVID-19 yang
cepat.
9. Sebanyak hampir 60% responden meyakini bahwa warga biasa
dapat membuat perubahan
Optimisme ini turun dari GCB 2017 yang sebesar 78%. Lebih dari
60% warga biasa mengaku takut akan ada pembalasan jika melaporkan kasus
korupsi, hampir naik dua kali lipat dari hasil GCB 2017. Sebesar 66% responden
tidak yakin laporan korupsi akan ditindaklanjuti
10.
Kurang dari setengah responden sadar
bahwa dirinya memiliki hak atas akakses informasi publik
8 dari 10 responden tidak pernah
melakukan permintaan informasi. Kurang dari 50% warga yakin Pemerintah
mempertimbangkan masukan dari publik.
·
Bribe
Payers Index (BPI)
Bribe Payers Index (BPI) 2011 memberi peringkat pada 28
negara pengekspor terkemuka tentang kemungkinan bisnis multinasional yang
mereka lakukan menggunakan suap saat beroperasi di luar negeri. Peringkat
tersebut dihitung dari beberapa tanggapan para pengusaha terhadap dua
pertanyaan di Survei Opini Eksekutif Forum Ekonomi Dunia.
Pertanyaan pertama menanyakan negara yang digunakan oleh
asing untuk berbisnis, manakah perusahaan milik asing yang terbanyak melakukan
bisnis. Pertanyaan kedua adalah: "Menurut pengalaman Anda, sejauh mana
perusahaan dari negara yang Anda pilih melakukan pembayaran tambahan atau suap
tanpa dokumen?" Jawaban harus diberikan dalam skala 1 (suap adalah hal
biasa atau bahkan wajib) sampai 10 (suap tidak diketahui). Peringkat BPI adalah
skor rata-rata, dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan kemungkinan yang
lebih rendah untuk menggunakan suap.
Ekspor global gabungan mereka mewakili 75 persen dari total
dunia pada tahun 2006. Negara-negara yang telah membayar lebih sedikit suap memiliki
BPI yang lebih tinggi.
Indonesia berada pada peringkat 25 dengan rata-rata skor 7,1
diatas Mexico, Cina, dan Rusia.
·
PERC
(Political and Economic Risk Consultancy)
PERC mengkoordinasikan
tim peneliti dan analis di negara-negara ASEAN, China Raya, dan Korea Selatan.
Beberapa perusahaan dan lembaga keuangan terkemuka dunia secara teratur
menggunakan layanan PERC untuk menilai tren utama dan masalah kritis yang
membentuk kawasan ini, untuk mengidentifikasi peluang pertumbuhan, dan untuk
mengembangkan strategi yang efektif untuk memanfaatkan peluang ini.
·
Global Competitiveness Index
Global Competitiveness Index, membuat laporan tahunan
yang diterbitkan oleh Forum Ekonomi Dunia yang disebut Global Competitiveness
Reports.
The Global Competitiveness Index mengintegrasikan ekonomi
makro dan aspek atau usaha mikro dari daya saing tiap negara menjadi sebuah
statistik tunggal.
Laporan tersebut akan menilai kemampuan negara untuk
memberikan tingkat kemakmuran yang tinggi kepada warga negaranya. Semua
tergantung pada seberapa produktif suatu negara dapat mengelola dan menggunakan
sumber daya yang tersedia dengan efektif dan efisien.
Indonesia berada peringkat 50 dengan skor 64,6. Hal ini
menurun dari tahun sebelumnya, sedangkan tahun sebelum-sebelumnya hanya
memposting 30 besar peringkat negara yang ada.
Daftar
pustaka
https://www.transparency.org/en/cpi/2020/media-kit
http://www3.weforum.org/docs/WEF_TheGlobalCompetitivenessReport2019.pdf
https://web.archive.org/web/20090326205427/http://www.weforum.org/en/initiatives/gcp/FAQs/index.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar